KAROMAH DARI SYECH KH. KHOLIL BANGKALAN, MADURA
Sabtu, 10 Februari 2024
Edit
Kyai Kholil atau lebih dikenal dengan Syeikh/Syaichona Cholil (Kholil) Bangkalan Madura, merupakan ulama kharismatik, bahkan disebut sebagai guru ulama Jawa. Banyak kisah menarik yang masyhur terkait karomah Kyai Kholil (Syaichona Cholil), salah satunya adalah ketika terjadi saat musim kemarau di Bangil.
Kisah ini bahkan dijadikan lirik lagu sebagai rentetan syair sejarah Syaichona Cholil dengan judul "Bhekto Mondhuk e Bangil", dalam bahasa Indonesia "Waktu Mondok di Bangil".
"Sewaktu Kyai Kholil mondok di Bangil, terjadi kemarau panjang sampai tidak ada air. Sungai dan sumur, mengalami kekeringan. penduduk Bangil pun kesusahan untuk hanya sekedar minum.
Ketika masyarakat Bangil dilanda kebingungan, maka Kyai Asyq meminta kepada Kyai Kholil :
"Wahai Kholil, sekarang buatlah sumur karena daerah bangil musim kemarau".
Ketika sampai di Bangil, beliau tidak menemukan air, penduduk Bangil setiap hari kebingungan.
Kyai Kholil pun mengambil cangkul lalu melakukan penggalian (meskipun sebenarnya tidak mungkin ditemukan sumber air), namun tetap dilakukan atas dasar ta'at pada perintah Kyai. Maka kira-kira penggalian sampai 1 meter, Alhamdulillah sumber air pun ditemukan.
Semua orang Bangil mengambil air tersebut dan tidak pernah habis karena besarnya sumber air tersebut. Sekarang sumur tersebut masih ada dirumahnya, Kyai Kholil di desa Canga'an. Sumur itu dinamakan sumur Kyai Kholil Demangan, dari Bangkalan Madura.
Dan pada kisah yang lain di ceritakan, Suatu hari di tahun 1924 KHR As’ad Syamsul Arifin dipanggil oleh KH.M Kholil Bangkalan;
“As'ad, kesini.."Besok kamu pergi ke Hasyim Asy’ari Jombang. Tongkat ini antarkan, berikan pada Hasyim”.
“Ini (tongkat) kasihkan ya”, kata Kyai Kholil lantas membaca QS. Thaha ayat 17-21):
ﻭَﻣَﺎ ﺗِﻠْﻚَ ﺑِﻴَﻤِﻴﻨِﻚَ ﻳَﺎ ﻣُﻮﺳَﻰ ﴿١٧﴾ ﻗَﺎﻝَ ﻫِﻲَ ﻋَﺼَﺎﻱَ ﺃَﺗَﻮَﻛَّﺄُ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﻭَﺃَﻫُﺶُّ ﺑِﻬَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﻏَﻨَﻤِﻲ ﻭَﻟِﻲَ ﻓِﻴﻬَﺎ ﻣَﺂﺭِﺏُ ﺃُﺧْﺮَﻯ ﴿١٨﴾ ﻗَﺎﻝَ ﺃَﻟْﻘِﻬَﺎ ﻳَﺎ ﻣُﻮﺳَﻰ ﴿١٩﴾ ﻓَﺄَﻟْﻘَﺎﻫَﺎ ﻓَﺈِﺫَﺍ ﻫِﻲَ ﺣَﻴَّﺔٌ ﺗَﺴْﻌَﻰ ﴿٢٠﴾ ﻗَﺎﻝَ ﺧُﺬْﻫَﺎ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﺨَﻒْ ﺳَﻨُﻌِﻴﺪُﻫَﺎ ﺳِﻴﺮَﺗَﻬَﺎ ﺍﻟْﺄُﻭﻟَﻰ ﴿٢١ ﴾
Artinya: “Apakah itu yang di tangan kananmu hai Musa? Berkata Musa: “Ini adalah tongkatku, aku berpegangan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.”
Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, hai Musa!” Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat.
Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula.”
Sampai di Tebuireng, Kyai Hasyim bertanya: “Siapa ini?”
“As’ad Kyai, saya disuruh Kyai Kholil untuk mengantar tongkat.”
“Tongkat apa?”
“Ini, Kyai.”
“Sebentar, sebentar…” Tongkat ini tidak langsung diambil Kyai Hasyim, tapi ditanya dulu mengapa Kiai Kholil memberi tongkat,“Bagaim
ana ceritanya?” .
Kiai As’ad lantas menyampaikan pesan dengan membacakan ayat:
ﻭَﻣَﺎ ﺗِﻠْﻚَ ﺑِﻴَﻤِﻴﻨِﻚَ ﻳَﺎ ﻣُﻮﺳَﻰ ﴿١٧﴾ ﻗَﺎﻝَ ﻫِﻲَ ﻋَﺼَﺎﻱَ ﺃَﺗَﻮَﻛَّﺄُ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﻭَﺃَﻫُﺶُّ ﺑِﻬَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﻏَﻨَﻤِﻲ ﻭَﻟِﻲَ ﻓِﻴﻬَﺎ ﻣَﺂﺭِﺏُ ﺃُﺧْﺮَﻯ ﴿١٨﴾ ﻗَﺎﻝَ ﺃَﻟْﻘِﻬَﺎ ﻳَﺎ ﻣُﻮﺳَﻰ ﴿١٩﴾ ﻓَﺄَﻟْﻘَﺎﻫَﺎ ﻓَﺈِﺫَﺍ ﻫِﻲَ ﺣَﻴَّﺔٌ ﺗَﺴْﻌَﻰ ﴿٢٠﴾ ﻗَﺎﻝَ ﺧُﺬْﻫَﺎ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﺨَﻒْ ﺳَﻨُﻌِﻴﺪُﻫَﺎ ﺳِﻴﺮَﺗَﻬَﺎ ﺍﻟْﺄُﻭﻟَﻰ ﴿٢١ ﴾
Artinya: “Apakah itu yang di tangan kananmu hai Musa? Berkata Musa: “Ini adalah tongkatku, aku berpegangan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.”
Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, hai Musa!” Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat.
Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula.”
"Alhamdulillah, nak, saya ingin mendirikan Jam’iyah Ulama. Saya teruskan kalau begini. Tongkat ini tongkat Nabi Musa yang diberikan Kyai Kholil kepada saya.”
Saat Kiai As’ad pamit pulang, “Ya, mari. Haturkan sama Kyai, bahwa rencana saya untuk mendirikan Jam’iyah Ulama akan diteruskan.”
Tahun 1924 akhir, Kyai As’ad dipanggil lagi oleh Kyai Kholil: “As'ad, ke sini! Kamu tidak lupa rumahnya Hasyim?”
“Tidak, Kyai.”
“Ini tasbih antarkan.”
“Ya, Kyai.”
Kemudian tasbih itu dipegang ujungnya: “Ya Jabbar, Ya Jabbar, Ya Jabbar. Ya Qahhar, Ya Qahhar, Ya Qahhar.” Jadi Ya Jabbar 1 kali putaran tasbih. Ya Qahhar 1 kali putaran tasbih.
Kiai As’ad disuruh dzikir.
“Ini” Kyai As’ad menengadahkan lehernya.
“Kok leher?”
“Ya, Kyai. Tolong diletakkan di leher saya supaya tidak terjatuh.”
“Ya, kalau begitu.”
Sesampai di Tebuireng, Kyai Hasyim bertanya: “Apa itu?”
“tasbih.”
“Masya Allah, Masya Allah. Saya diperhatikan betul oleh guru saya.
Mana tasbihnya?”
“Ini, Kyai,” Kata Kiai As’ad sambil menjulurkan leher
“Lho?”
“Ini, Kyai.
Tasbih ini dikalungkan oleh Kyai ke leher saya, sampai sekarang saya tidak memegangnya. Saya takut su'ul adab (tidak sopan) kepada guru. Sebab tasbih ini untuk Anda. Saya tidak akan berbuat apa-apa terhadap barang milik Anda.”
Kemudian diambil oleh Kyai Hasyim: “Apa kata Kyai Kholil?”
“Ya Jabbar, Ya Jabbar, Ya Jabbar. Ya Qahhar, Ya Qahhar, Ya Qahhar.”
“Siapa yang berani pada NU akan hancur. Siapa yang berani pada ulama akan hancur.” Ini dawuhnya.
Dikisahkan oleh K.H. Abdullah Syamsul Arifin, ketua PCNU Jember, terdapat seorang warga yang mempunyai anak dengan kelainan hobi mengonsumsi gula berlebih, bahkan setiap hari anak tersebut bisa menghabiskan sekian kilo gula pasir. Akhirnya ayah anak itu nyabis (sowan) ke Syekh Kholil Bangkalan. Di hadapan Syekh Kholil ia mengeluh soal kebiasaan anaknya menyantap gula. Ia berharap agar sang Syekh berkenan menyembuhkan penyakit yang mendera anaknya. Namun Syekh Kholil malah menjawab permohonan si ayah dengan menyuruhnya datang kembali satu minggu kemudian. Tamu tersebut pamit, namun sejak saat itu kebiasaan si anak semakin menjadi-jadi dan semakin banyak gula yang dihabiskan setiap hari, dimakan begitu saja. Sang ayah tetap memenuhi perintah Syekh Kholil untuk datang kembali ke rumahnya seminggu kemudian. Setelah pertemuan yang kedua, anak tersebut berhenti total mengonsumsi gula.
Konon, selama seminggu Syekh Kholil bertirakat. Tidak makan makanan atau minuman yang berbahan gula pasir. Pesannya sederhana, jika ingin menyuruh sesuatu maka harus mengerjakannya dulu. Kalau ingin melarang sesuatu terhadap orang lain maka yang bersangkutan dahulu yang wajib memberi contoh jika ingin larangannya dipatuhi.
Kisah Beliau Tertawa Keras saat Salat.
Pada suatu hari, saat salat jamaah yang dipimpin oleh seorang kiai di sebuah pesantren tempat Syekh Kholil muda mencari ilmu, ia tertawa cukup keras. Setelah selesai salat sang kiai menegur Syekh Kholil muda atas sikapnya tersebut yang memang dilarang dalam Islam. Ternyata Syekh Kholil muda masih terus tertawa meskipun kiai sangat marah terhadapnya. Akhirnya ia menjawab hal yang menyebabkannya tertawa keras, bahwa ketika salat berjamaah berlangsung dia melihat sebuah "berkat" (makanan yang dibawa pulang sehabis kenduri) di atas kepala sang Kiai. Mendengar jawaban tersebut sang kiai sadar dan malu atas salat yang dipimpinnya. Karena sang kiai ingat bahwa selama salat berlangsung dia merasa tergesa-gesa untuk menghadiri kenduri yang mengakibatkan salatnya tidak khusyuk.
Kisah Beliau saat ditangkap lalu Dibebaskan oleh Belanda .
Syekh Kholil pernah ditahan oleh penjajah Belanda karena dituduh melindungi beberapa orang yang terlibat perlawanan terhadap kolonial di pondok pesantrennya. Ketika Belanda mengetahuinya, Syekh Kholil ditangkap dengan harapan para pejuang menyerahkan diri. Tetapi ditangkapnya Syekh Kholil, malah membuat pihak Belanda pusing dan kewalahan; karena terjadi hal-hal yang tidak bisa mereka mengerti. Seperti tidak bisa dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga penuh supaya para tahanan tidak melarikan diri. Di hari-hari selanjutnya, ribuan orang datang ingin menjenguk dan memberi makanan kepada Syekh Kholil, bahkan banyak yang meminta ikut ditahan bersamanya. Kejadian tersebut menjadikan pihak Belanda dan sekutunya merelakan Syekh Kholil untuk dibebaskan.
Kisah lain kharomah KH Kholil yang di saksikan langsung oleh Kyai As'ad yaitu pada suatu sore di pesisir pantai bangkalan, Syaikhona Kholil Bangkalan hanya ditemani oleh Kiai As’ad Samsul Arifin, salah satu santri beliau. Beliau-beliau ini sedang berbincang bincang tentang pengembangan pesantren dan persoalan umat Islam di daerah Madura.
Persoalan demi persoalan dibicarakan, dan tidak terasa matahari sudah hampir tenggelam. Sadangkan Syaikhona Kholil dan santrinya tersebut belum sholat Ashar.
“Kita belum sholat ashar, kyai,” kata Kyai As’ad.
“Astaghfirullah….,” jawab Syaikhona Kholil menyadari kekhilafannya.
“Waktu sudah hampir habis dan kita sudah tidak mungkin bisa melakukan sholat ashar secara sempurna, kyai,” tanya Kyai As’ad.
Syaikhona Kholil pun menjawab agar Kyai As’ad Samsul Arifin mencari kerocok. Kyai As’ad tentu heran, untuk apa kerocok itu, dan bertanyalah beliau kepada Syaikhona Kholil.
Kyai kholil hanya menjawab dengan tersenyum: “Ya, kita pakai ke Mekah.”
Setelah mendapat kerocok, Syaikhona Kholil naik ke atasnya dan diikuti oleh Kyai As’ad. Beberapa saat Syaikhona Kholil menatap ke arah barat. Dan, tiba tiba kerocok yang dinaikki beliau melesat sangat cepat dan sulit diikuti pandangan mata.
Sesampainya di mekkah, adzan sholat ashar baru saja dikumandangkan. Setelah mengambil air wudhu, dua kyai besar ini segera menuju shof pertama untuk sholat ashar berjama’ah di masjidil haram. Subhanalloh, semoga berkah melimpah kepada kita semua.***
Saat itu Mbah Kholil Bangkalan masih muda, masih semangat-semangatnya mengaji dan menuntut ilmu. Di masa itu ia mendengar ada seorang Kiai Alim di daerah Winongan, Pasuruan, Kiai Abu Dzarrin namanya.
Tak menunggu lama, langsung saja ia menuju Pasuruan untuk berguru pada Sang kiai. Tak peduli meski harus menempuh jarak jauh yang tentunya membutuhkan waktu berhari-hari.
Sesampainya di Winongan, ia disambut oleh kabar buruk, ternyata Kiai Abu Dzarrin sudah wafat beberapa hari sebelum kedatangannya. Mbah Kholil muda menangis.. Hancur sudah harapannya untuk menimba ilmu dari Kiai Abu Dzarrin.
Akhirnya ia berziarah ke makam beliau, mengucap salam lantas berkata :
“Bagaimana saya ini Kiai ? saya ingin sekali berguru kepada Kiai tapi sekarang Kiai sudah meninggal”
Kemudian Mbah Kholil duduk di makam Kiai Abu Dzarrin selama 41 hari. Membaca Al-Quran dan bertawassul kepada ‘calon’ gurunya itu.
Berkat ketulusan dan keikhlasannya, di hari terakhir beliau tertidur dan bermimpi. Dalam mimpinya ia bertemu dengan sosok lelaki berjubah putih yang mengenalkan dirinya sebagai Kiai Abu Dzarrin. Dalam mimpi itu Beliau mengajari Kiai Kholil beberapa kitab dalam Fan Nahwu. Ajaibnya, ketika bangun, maklumat-maklumat yang tadi ia dengar dari alam mimpi, masih melekat dalam ingatannya.! Konon kitab yang diajarkan Kiai Abu Dzarrin dalam mimpi Kiai Kholil itu adalah Jurumiah, Alfiah dan Imrithy.
Sampai sekarang ‘kejadian’ ini masih tercatat di makam Syaikh Abu Dzarrin. Di kain kelambu makamnya tertulis :
هذا قبر المرحوم الشيخ أبو ذر ولي الله نال العلم اللدني المرحوم شيخنا محمد خليل بن
عبد اللطيف دمعان بنكلان ولي الله بسبب الاعتكاف في هذا المحل
“Ini adalah makam Syaikh Abu Dzarrin waliyullah. Telah mendapat Ilmu ladunni Syaikhuna Kholil Bin Abdullathif Demangan Bangkalan Waliyullah karena ‘beri’tikaf’ di tempat ini. “
Tiba-tiba ada abang Wahhabi yang nyeletuk :
“Ah itu kan Syaikh Buty sama Mbah Kholil ulama baru-baru ini, sedangkan ulama-ulama salaf gak ada yang melakukan itu. Berdoa di kuburan itu bid’ah.. syirik !”
“Kamu sak ulama-ulamakmu itu apakah lebih salaf dibanding Imam Syafi’i ??”
Buka Tarikh Baghdad juz 1 halaman 123, di situ tercatat pengakuan Imam Syafi’i :
إني لأتبرك بأبي حنيفة و أجيء إلى قبره في كل يوم يعني زائرا فإذا عرضت لي حاجة صليت ركعتين و جئت إلى قبره و سألت الله تعالى الحاجة عنده فماتبعد عني حتى تقضى
“Aku selalu ‘ngalap’ berkah dari Imam Hanafi dan berziarah ke Makamnya setiap hari. Setiap aku memiliki hajat aku sholat 2 raka’at lantas mendatangi makam Imam Hanafi dan berdoa kepada Allah disana. Tak berselang lama hajat itu dimudahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.”
Oleh : (Ismael Amin Kholil, Tarim).
Diantara kisah karomahnya KH Kholil yang lain adalah tentang ORANG ARAB DAN MACAN TUTUL.
Alkisah :
Suatu hari seseorang berkebangsaan Arab berkunjung ke Pesantren Kedemangan, Bangkalan, Jawa Timur. Masyarakat Madura menyebutnya HABIB. Kala itu, Syaikhona KH Muhammad Kholil sedang memimpin jamaah sembahyang maghrib bersama para santrinya.
Usai menunaikan shalat, Mbah Kholil pun menemui para tamunya, termasuk orang Arab ini. Dalam pembicaraan, tamu barunya ini menyampaikan sebuah teguran,
“Tuan, bacaan al-Fatihah Antum (Anda) kurang fasih.”
Rupanya, sebagai orang Arab, ia merasa berwenang mengoreksi bacaan shalat Mbah Kholil.
Setelah berbasa-basi sejenak, Mbah Kholil mempersilakan tamu Arab itu mengambil wudhu untuk melaksanakan sembahyang maghrib.
“Silakan ambil wudhu di sana,” ucapnya sambil menunjuk arah tempat wudhu di sebelah masjid.
Baru saja selesai wudhu, si orang Arab tiba-tiba dikejutkan dengan munculnya seekor MACAN TUTUL. Dengan bahasa Arab yang fasih, ia berteriak dengan maksud mengusir si macan. Kefasihan bahasa Arabnya tak memberi pengaruh apa-apa. Binatang buas itu justru kian mendekat.
Mendengar keributan di area tempat wudhu, Mbah Kholil datang menghampiri. Mbah Kholil paham, kiranya macan tutul itu lah sumber kegaduhan. Kiai karomah ini pun melontarkan sepatah dua patah kata kepada macan. Meski tidak sefasih tamu Arabnya, anehnya, sang macan langsung bergegas pergi.
Orang Arab itu akhirnya mafhum, kiai penghafal Al-Qur’an yang menguasai QIRA'AT SAB’AH (tujuh cara membaca al-Qur’an) ini sedang memberi pelajaran berharga untuk dirinya.
Di Datangi Macan
Suatu hari di bulan Syawal. Kiai Kholil tiba-tiba memanggil santrinya. Anak-anakku, sejak hari ini kalian harus memperketat penjagaan pondok pesantren. Pintu gerbang harus senantiasa dijaga, sebentar lagi akan ada macan masuk ke pondok kita ini.” Kata Syeikh Kholil agak serius. Mendengar tutur guru yang sangat dihormati itu, segera para santri mempersiapkan diri. Waktu itu sebelah timur Bangkalan memang terdapat hutan-hutan yang cukup lebat dan angker. Hari demi hari, penjagaan semakin diperketat, tetapi macan yang ditungu-tunggu itu belum tampak juga. Memasuki minggu ketiga, datanglah ke pesantren pemuda kurus, tidak berapa tinggi berkulit kuning langsat sambil menenteng kopor seng.
Sesampainya di depan pintu rumah SyeikhKholil, lalu mengucap salam. Mendengar salam itu, bukan jawaban salam yang diterima, tetapi Kiai malah berteriak memanggil santrinya ; "Hey santri semua, ada macan….macan.., ayo kita kepung". Jangan sampai masuk ke pondok.” Seru Syeikh Kholil bak seorang komandan di medan perang.
Mendengar teriakan Syeikh Kholil kontan saja semua santri berhamburan, datang sambil membawa apa yang ada, pedang, clurit, tongkat, pacul untuk mengepung pemuda yang baru datang tadi yang mulai nampak kelihatan pucat. Tidak ada pilihan lagi kecuali lari seribu langkah. Namun karena tekad ingin nyantri ke Syeikh Kholil begitu menggelora, maka keesokan harinya mencoba untuk datang lagi. Begitu memasuki pintu gerbang pesantren, langsung disongsong dengan usiran ramai-ramai. Demikian juga keesokan harinya. Baru pada malam ketiga, pemuda yang pantang mundur ini memasuki pesantren secara diam-diam pada malam hari. Karena lelahnya pemuda itu, yang disertai rasa takut yang mencekam, akhirnya tertidur di bawah kentongan surau.Secara tidak diduga, tengah malam Syeikh Kholil datang dan membantu membangunkannya. Karuan saja dimarahi habis-habisan. Pemuda itu dibawa ke rumah Syeikh Kholil. Setelah berbasa-basi dengan seribu alasan. Baru pemuda itu merasa lega setelah resmi diterima sebagai santri Syeikh Kholil. Pemuda itu bernama Abdul Wahab Hasbullah. Kelak kemudian hari santri yang diisyaratkan macan itu, dikenal dengan nama KH. Wahab Hasbullah, seorang Kiai yang sangat alim, jagoan berdebat, pembentuk komite Hijaz, pembaharu pemikiran. Kehadiran KH Wahab Hasbullah di mana-mana selalu berwibawa dan sangat disegani baik kawan maupun lawan bagaikan seekor macan, seperti yang diisyaratkan Syeikh Kholil.
Bagi warga Nahdliyyin, nama MBAH KHOLIL BANGKALAN tidak asing lagi. Nama beliau : Syeikh Muhammad Kholil bin Abdul Latif al-Bangkalany lahir pada 24 Januari 1820 di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan/Kabupaten Bangkalan, Madura, Jawa Timur.
Banyak santri yang kemudian menjadi ulama besar berguru kepada ulama kharismatik itu, diantaranya adalah KH Hasyim Asyari, pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama. Beliau Syeikh KH Kholil wafat pada tahun 1925 M. Setiap hari makam beliau tidak pernah sepi dari para peziarah dari berbagai pelosok Nusantara.
Terlebih lagi pada har-harii libur, selain sebagai ulama, di masyarakat santri, Kiai Kholil juga dikenal sebagai waliyullah. Banyak cerita kelebihan di luar akal atau KAROMAH Mbah Kholil terkisah dari lisan ke lisan, terutama di lingkungan masyarakat Madura, bahkan pernah disampaikan sendiri oleh cicit beliau KH. KHOLILUR ROHMAN yang dikenal dengan Ra Lilur, Beliau adalah putra dari KH Ahmad Tamyiz.
Syeikhona Kholil Bangkalan wafat pada tanggal 29 Ramadlan 1343 H atau tahun 1925 M. Beliau wafat setahun sebelum Nadlatul Ulama resmi didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H / 31 Januari 1926.
Wallahu'aklambhisshowab..