KISAH KRONOLOGI BERDIRINYA NAHDLATUL ULAMA'



Berdirinya Jam’iyyah Nahdlatul ulama bermula pada tahun 1920, saat itu sebanyak 66 ulama se Nusantara datang ke Bangkalan Madura, untuk sowan ke Syaichona Moh. Cholil yang merupakan Maha Guru Nusantara pusat peradaban islam pada masa itu.


Para ulama ingin menyampaikan keresahan mereka mengenai kemunculan kelompok Islam baru di Indonesia yang menolak ajaran ahlussunnah wal jamaah, yaitu yang beraliran paham Wahabi. Aliran tersebut mencoba menggerogoti ajaran ahlussunnah wal jamaah yang sudah lama mengakar di bumi Nusantara.

Seperti yang sudah di ketahui, bahwa agama islam masuk ke Indonesia melalui para Wali Songo yang berpaham Ahlussunnah wal jamaah, dengan menganut salah satu empat mazhab ; yaitu Madzab Maliki, Hanafi, Syafi'i dan Hanbali, akan tetapi kebanyakan Mazhab Syafi'i.

Aliran baru ini, meng-klaim dirinya sebagai pembaharu, mereka mengatakan ajaran islam yang benar adalah murni langsung dari al-Quran dan as-Sunnah (hadis), mereka menuduh paham Aswaja adalah bid’ah, syirik, dan sebagainya.
Apalagi mereka mereka di dukung dan di fasilitasi oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, hal ini karena pemerintah kolonial Belanda merasa terancam dengan adanya para ulama Aswaja yang menjadi tokoh masyarakat.

Dari hal itulah para ulama khawatir aliran tersebut akan menghancurkan ahlussunnah wal jamaah di Indonesia ini. Jalan satu - satunya, mereka meminta petunjuk kepada Syaichona Moh. Cholil sang wali Allah maha guru pada masa itu. Tetapi para ulama tidak langsung menemui Syaichona Moh. Cholil, karena para ulama merasa sungkan untuk langsung menemui Syaichona Moh. Cholil, jadi mereka meminta bantuan pada KH. Muntaha di Desa Jengkebuen yang merupakan menantu Syaichona Moh. Cholil.

Namun, sebelum KH. Muntaha beranjak keluar kediamannya untuk sowan, ternyata Syaichona Moh. Cholil sang wali Allah sudah mengetahui akan datangnya para ulama tersebut, sehingga Syaichona Moh. Cholil menyuruh utusan yang bernama Nasib untuk membacakan sebuah ayat al-Quran Surat as-Shaf ayat 8 ;

يُرِيدُونَ لِيُطْفِـُٔوا۟ نُورَ ٱللَّهِ بِأَفْوَٰهِهِمْ وَٱللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِۦ وَلَوْ كَرِهَ ٱلْكَٰفِرُونَ
Artinya: "Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya”.

Ayat itu ternyata jawaban dari keresahan para ulama yang berkumpul di rumah menantu beliau, KH. Muntaha. 

Lewat ayat itu, secara tersirat Syaichona Moh. Cholil meminta para ulama untuk tidak khawatir atas kemunculan aliran baru dalam Islam itu. Sehingga membuat ulama puas dan kembali pulang ke daerah masing - masing.

Pada tahun 1922, para ulama sebanyak 46 berkumpul di Surabaya dikediaman KH. Mas Alwi Abd. Aziz  untuk mencari solusi atas kemunculan kelompok Islam yang tidak senang pada ajaran ahlussunnah wal jamaah, dan membahas keberlangsungan rencana pembentukan jam’iyyah ulama, akan tetapi tidak menghasilkan apa - apa.
Kemudian salah satu kiai akhirnya memberanikan diri untuk menghadap Syaichona Moh. Cholil di Bangkalan. Dia bercerita pernah membaca tulisan Sunan Ampel sewaktu nyantri di Kota Madinah.
Isinya menceritakan Sunan Ampel yang pernah bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. Yang mana dalam mimpi itu, Nabi Muhammad SAW berpesan agar ajaran ahlussunnah dibawa ke Indonesia karena orang - orang di Arab sendiri tidak mampu melaksanakannya.

Kemudian KH. Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971) sekitar tahun 1924, menggagas pendirian Jam’iyyah yang langsung disampaikan kepada KH. Hasyim Asy’ari untuk meminta persetujuan. Namun, KH. Hasyim Asy’ari tidak lantas langsung menyetujui. Terlebih dahulu sebelumnya, beliau melakukan sholat istikharah untuk meminta petunjuk kepada Allah SWT.

KH. Hasyim Asy’ari melakukan sholat istikharoh beberapa kali namun petunjukpun tak kunjung datang. Rupanya, petunjuk Allah SWT terhadap berdirinya Nahdlatul Ulama tidak diberikan langsung kepada KH. Hasyim, tetapi datang melalui gurunya, yaitu Syaichona Moh. Cholil Bangkalan.

Ketika petunjuk Allah SWT datang, Syaichona Moh. Cholil segera memanggil santri beliau, yang bernama As’ad Samsul Arifin, santri senior berumur 27 tahun (Pendiri Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo).

 “As’ad,” Kata Syaichona Moh. Cholil. 

“Yaa… Kiai,” Jawab  santri As’ad dengan ta’dhim pada sang guru.

“As’ad, tongkat ini kamu antarkan kepada KH. Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang,’’
Pesan Syaichona Moh. Cholil sambil menyerahkan tongkat tersebut pada As’ad. 

‘’Dan tolong kamu bacakan surat Thaha ayat 17-23 kepada Hasyim Asy’ari”, Pesan Syaichona Moh. Cholil menutup pembicaraannya.

Begitu menerima perintah, sang santri As’ad pun segera berangkat ke Tebuireng, kediaman KH. Hasyim Asy’ari dengan menempuh jarak yang cukup jauh, ia berjalan kaki sambil memegang tongkat dari Syaichona Cholil tersebut.
 
Setibanya As’ad di Tebuireng, mendengar adanya utusan gurunya Syaichona Moh. Cholil Bangkalan, KH. Hasyim Asy’ari menduga pasti ada sesuatu yang sangat penting.

“Kiai, saya di utus Syaichona Moh. Cholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini, kepada kiai”, Kata As’ad sambil menyerahkan tongkatnya. Tongkat itu di terima dengan penuh haru perasaan, kemudian KH. Hasyim bertanya kepada As’ad : “Apa tidak ada pesan dari Syaichona Cholil, As’ad ?”

As’ad kemudian langsung membaca :

وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى (١٧) قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى (١٨) قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَى (١٩) فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى (٢٠) قَالَ خُذْهَا وَلا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الأولَى (٢١) وَاضْمُمْ يَدَكَ إِلَى جَنَاحِكَ تَخْرُجْ بَيْضَاءَ مِنْ غَيْرِ سُوءٍ آيَةً أُخْرَى (٢٢) لِنُرِيَكَ مِنْ وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى (١٧) قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى (١٨) قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَى (١٩) فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى (٢٠) قَالَ خُذْهَا وَلا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الأولَى (٢١) وَاضْمُمْ يَدَكَ إِلَى جَنَاحِكَ تَخْرُجْ بَيْضَاءَ مِنْ غَيْرِ سُوءٍ آيَةً أُخْرَى (٢٢) لِنُرِيَكَ مِنْ آيَاتِنَا الْكُبْرَى

Artinya: “Apakah itu yang di tangan kananmu wahai Musa? “Ini adalah tongkat, aku bertelekan kepadanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya”. Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, hai Musa! Lalu dilemparkanlah tongkat itu, tiba - tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah SWT berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengemabalikan pada keadaan semula. Dan Kepitlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia akan keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat – sebagai mukjizat yang lain (pula) – untuk kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda - tanda kekuasaan Kami yang sangat besar.”

Mendengar ayat - ayat yang di bacakan As’ad, hati KH. Hasyim Asy’ari bergetar, matanya menerawang terbayang wajah Syaichona Moh. Cholil yang sangat tua dan bijaksana.

“Oh… iya, berarti ini berkaitan dengan rencana untuk mendirikan Jam’iyyah ulama itu’’, kata KH. Hasyim Asy’ari sambil terharu.

KH. Hasyim Asy’ari menangkap isyarat, bahwa gurunya Syaichona Moh. Cholil tidak keberatan untuk mendirikan sebuah organisasi, jam’iyyah. 

Sejak saat itulah keinginan KH. Hasyim Asy’ari tidak ragu lagi untuk mendirikan sebuah jam'iyyah. Kemudian dimusyawarahkan dan dirumuskan sesuatu yang berkenaan dengan organisasi tersebut.

Demikian hari demi hari, bulan demi bulan, organisasi yang di cita - citakan belum juga berdiri. Sampai kemudian Syaichona Moh. Cholil mengutus As’ad kembali untuk menyerahkan tasbih kepada KH. Hasyim Asy’ari.

Seperti hal nya penyerehan tongkat yang terdahulu, tasbih inipun disertai pesan oleh Syaichona Moh. Cholil pada As’ad, berupa bacaan salah satu Asmaul Husna ; yaitu Ya Jabbar, Ya Qohhar sebanyak 3 kali.

Berangkatlah As’ad ke Tebuireng Jombang lagi, untuk mengantarkan tasbih yang diberikan Syaichona Moh. Cholil kepada KH. Hasyim Asy’ari. Tasbih tersebut beliau kalungkan dileher. Setelah As’ad menempuh perjalanan yang cukup panjang dengan berjalan kaki, yang tentu saja, suka duka dialaminya dalam tugasnya ini.
Seperti yang telah di tuturkan oleh Kiai As’ad sendiri, bahwa dalam perjalanannya di jumpai orang mengatakan bahwa dirinya adalah orang gila sebab berkalungkan tasbih sambil berjalan kaki, akan tetapi ada juga orang yang mengatakan As’ad adalah seorang wali Allah SWT.

Akhirnya As’ad tiba di Tebuireng, kemudian berkata “Sesampainya di Tebuireng, saya bertemu dengan KH. Hasyim dan menyerahkan tasbih sambil membungkuk. KH. Hasyim Asy’ari sendiri yang mengambil tasbih itu dari leher saya’’, tasbih yang di serahkan kepada KH. Hasyim Asy’ari tidak berubah dari sisi semula sejak di kalungkan oleh Syaichona Moh. Cholil.
“Saya tidak berani mengubahnya, meskipun di perjalanan banyak orang yang menertawakan dan mungkin saya di anggap gila”, kata As’ad mengenang perjalanan yang tidak bisa melupakan kejadian tersebut.

Lanjutnya, KH. Hasyim Asy’ari punya reaksi berbeda saat menerima kedua benda tersebut. Saat menerima tongkat, KH. Hasyim Asy’ari berujar bahwa dengan tongkat itu hatinya makin mantap untuk mendirikan organisasi bernama Jam’iyatul Ulama, nama awal NU sebelum berubah menjadi Nahdlatul Ulama.

Sejak saat itu dimatangkanlah persiapan untuk mendirikan organisasi tersebut, namun karena membutuhkan waktu yang lama dalam persiapannya, sampai Syaichona Moh. Cholil wafat pada tahun 1925, Jam’iyyah tersebut belum resmi didirikan.

Kemudian pada tahun 1926, KH. Wahhab Chasbullah membuat sebuah panitia kecil. yang bernama Komite Hijaz, Panitia ini bertugas menemui Raja Ibnu Saud di Hijaz (Saudi Arabia) untuk menyampaikan beberapa permohonan. Hal ini disebabkan Semenjak Ibnu Saud, Raja Najed yang beraliran Wahabi, menaklukkan Hijaz (Mekkah dan Madinah) tahun 1924-1925, aliran Wahabi sangat dominan di tanah Haram.
Kelompok Islam lain dilarang mengajarkan mazhabnya, bahkan tidak sedikit para ulama Aswaja 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel