SEJARAH ASAL MUASAL DUNIA KEDEWATAN DIAWALI DARI CUCU NABI ADAM BERCAMPUR JIN DAN IBLIS




 

Sejarah ini bersumber dari Serat Paramayoga Yang diriwayatkan oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita atau bernama asli Raden Bagus Burhan putra dari Raden Mas Pajangswara, kakeknya Raden Yasadipura II adalah pujangga besar Kasunan Surakarta 


Raden Ngabehi Ranggawarista hidup antara tahun 1802-1873. Dia dianggap juga sebagai pujangga terbesar terahir tanah jawa dan Kasunan Surakarta, untuk sekedar menambah wawasan tentang kitab kuno jawa ini silahkan disimak 

Diawali dengan Kisah manusia termasuk para Nabi dan Rosul tertua (keturunan Nabi Adam dan Siti Hawa).
Nabi Sis alias Syits (Sheth) - Putra Nabi Adam dan Siti Hawa

Diawali pembicaraan Nabi Adam (Rasul pertama) dengan para putranya terkait istrinya Siti Hawa yang sedang mengandung untuk ketiga belas kalinya.
Dalam pembicaraan itu Sayidina Kabil/Qabil sang putra sulung juga menyampaikan keluhan yang selama ini dipendam dalam hati, yaitu tentang peraturan Nabi Adam dalam menikahkan putra-putrinya/Iklima. 

Sayidina Qabil lahir bersama Siti Aklimah/Iklima, sedangkan Sayidina Habil lahir bersama Siti Damimah/Labuda. Namun, Sayidina Qabil yang berwajah tampan ternyata dinikahkan dengan Siti Damimah/Labudayang berwajah jelek, sedangkan Sayidina Habil yang berwaja/Iklimah jelek ternyata dinikahkan dengan Siti Aklimah yang berwajah cantik. 

Selama ini Sayidina Qabil selalu memendam kekecewaaan dalam hati, namun sekarang ia tidak tahan lagi dan menyampaikan rasa kesalnya itu kepada sang ayah.
Nabi Adam menjelaskan bahwa peraturan tersebut ditetapkan dengan pertimbangan bahwa Sayidina Kabil dan Siti Aklimah lahir bersama, maka mereka berasal dari satu benih yang sama, sehingga tidak baik jika dinikahkan. Sayidina Kabil kecewa dengan jawaban sang ayah. Ia lalu pamit undur diri meninggalkan pertemuan.

Nabi Adam kembali membicarakan kehamilan Siti Hawa. Dulu mereka berdua telah melanggar larangan Tuhan Yang Mahakuasa, sehingga harus dikeluarkan dari Taman Surga. Kini Siti Hawa sedang mengandung dan merindukan kelezatan buah-buahan dari tempat yang serba indah itu. Putra keenam bernama Sayidina Sis mengajukan diri untuk mewujudkan idaman sang ibu. Nabi Adam sangat yakin pada kemampuan Sayidina Sis dan memberikan restu kepadanya untuk berangkat.

SITI HAWA MENCERITAKAN KELAHIRAN SAYIDINA SYITS/SIS

Nabi Adam masuk ke dalam puri dan disambut Siti Hawa. Kepada sang istri, ia menceritakan jalannya pertemuan, di mana Sayidina Sis bersedia mengusahakan terwujudnya buah-buahan dari Taman Surga. Ia juga menceritakan kekecewaan Sayidina Kabil karena beristrikan Siti Damimah yang buruk rupa.

Siti Hawa mengungkit cerita masa lalu di mana antara dirinya dan sang suami pernah berselisih paham mengenai tata cara perkawinan putra-putri mereka. Nabi Adam berpendapat, putra pertama hendaknya dinikahkan dengan putri kedua, sedangkan putra kedua dinikahkan dengan putri pertama. Putra ketiga dinikahkan dengan putri keempat, sedangkan putra keempat dinikahkan dengan putri ketiga. 

Begitulah seterusnya. Di lain pihak, Siti Hawa berpendapat putra pertama hendaknya dinikahkan dengan putri pertama, putra kedua dinikahkan dengan putri kedua, dan seterusnya, dengan alasan mereka sudah berjodoh sejak dalam kandungan.

Perbedaan pendapat itu membuat keduanya berselisih tanpa ada yang mau mengalah, sampai akhirnya mereka memutuskan untuk meminta petunjuk kepada Allah SWT (Tuhan Yang Mahakuasa). Masing-masing lalu mengeluarkan benih dari dalam tubuh untuk ditempatkan di dalam pusaka Cupumanik Astagina. 

Benih Nabi Adam ditempatkan pada tutup cupumanik, sedangkan benih Siti Hawa ditempatkan di badan cupumanik. Setelah beberapa hari, atas kehendak Tuhan, benih milik Nabi Adam berubah menjadi calon janin, sedangkan benih Siti Hawa tidak berubah. Karena itulah, Siti Hawa mengaku pasrah dan menyerahkan keputusan tentang tata cara pernikahan putra-putri supaya dijalankan sesuai pendapat Nabi Adam.

Setelah Nabi Adam dan Siti Hawa pergi, Malaikat Jibril datang atas perintah Tuhan Yang Mahakuasa untuk menyatukan calon janin tersebut dengan benih Siti Hawa sehingga menjadi bayi hidup, yang kemudian diberi nama Sayidina “Sis”. Dengan demikian, anak pertama sampai kelima selalu lahir sepasang laki-laki perempuan, sedangkan putra keenam ini hanya seorang laki-laki, yaitu Sayidina Sis tersebut. Tidak lama kemudian muncul angin topan yang menerbangkan Cupumanik Astagina entah ke mana.

Silsilah Nabi dan Rasul
Silsilah Keturunan Nabi Adam (termasuk para Nabi dan Rasul)
Siti Hawa mengakhiri ceritanya. Nabi Adam berusaha menenangkan perasaan istrinya, dan menganggap keluhan Sayidina Kabil tadi adalah ujian rumah tangga belaka. Maka ia pun mengajak Siti Hawa untuk lebih menguatkan iman dan senantiasa berserah diri kepada Tuhan Yang Mahakuasa, semoga apa pun yang akan terjadi bisa mendatangkan kebaikan bagi umat manusia.

KEBERANGKATAN SAYIDINA SYITS/SIS MENCARI BUAH-BUAHAN SURGA

Sayidina Habil memerintahkan empat orang adiknya, yaitu Sayidina Israil, Sayidina Israwan, Sayidina Basradiwan, dan Sayidina Yasis untuk mengantarkan keberangkatan Sayidina Sis dalam mewujudkan idaman sang ibu. 

Di tengah perjalanan, Sayidina Sis dan keempat saudaranya itu diganggu oleh kaum setan pengikut Malaikat Ajajil yang dulu diusir dari Taman Surga karena menolak perintah Tuhan. Terjadilah pertempuran di mana para setan tersebut dapat diusir pergi.

Sesampainya di tepi hutan, Sayidina Sis berpisah dengan keempat saudaranya untuk melanjutkan perjalanan seorang diri. Sayidina Israil, Sayidina Israwan, Sayidina Basradiwan, dan Sayidina Yasis lalu kembali ke Kusniya Malebari dan mendoakan perjalanan Sayidina Sis supaya berhasil dan selalu mendapatkan perlindungan.

SAYIDINA SIS MENDAPATKAN ANUGERAH

Seorang diri Sayidina Sis memasuki hutan belantara untuk kemudian bertafakur meminta izin Tuhan Yang Mahakuasa supaya bisa mendapatkan buah-buahan Taman Surga. Setelah empat puluh hari bertafakur mengheningkan cipta, Malaikat Jibril pun datang menyampaikan perintah Tuhan, bahwa Sayidina Sis diizinkan naik ke Taman Surga untuk memetik buah-buahan yang menjadi idaman ibunya. Sayidina Sis sangat gembira, dan ia pun berangkat dengan pertolongan Malaikat Jibril.

Di dalam Taman Surga, Malaikat Jibril mengantarkan Sayidina Sis memetik buah-buahan yang diinginkan Siti Hawa. Setelah dirasa cukup, Malaikat Jibril kemudian menyampaikan keputusan Tuhan yang kedua, yaitu menikahkan Sayidina Sis dengan seorang bidadari bernama Dewi Mulat. 

Malaikat Jibril menyampaikan kehendak Tuhan bahwa kelak Sayidina Sis akan menurunkan manusia-manusia utama, dan sebagian di antaranya akan menjadi nabi dan raja. Maka itu, yang menjadi istri Sayidina Sis haruslah wanita utama pula.

Sayidina Sis sangat bersyukur. Ia kemudian membawa Dewi Mulat turun ke dunia dan membangun rumah tangga di Kusniya Malebari. Buah-buahan dari Taman Surga pun dipersembahkan kepada Siti Hawa yang menerimanya dengan suka cita.
Setelah tiba saatnya, Siti Hawa pun melahirkan sepasang putra-putri seperti biasa. Nabi Adam memberi nama putra putrinya itu, masing-masing Sayidina Kayumaras dan Siti Indunmaras.

Kelahiran Anwar dan Anwas
KABIL MEMBUNUH HABIL

(Peristiwa pembunuhan pertama di dunia)
Pada suatu hari, Sayidina Kabil datang menemui Sayidina Habil di rumahnya untuk meminta supaya Siti Aklimah diceraikan dan diserahkan kepadanya. Sayidina Habil sebenarnya sangat menyayangi kakak sulungnya, namun ia juga tidak berani melanggar keputusan sang ayah. Merasa tersinggung, Sayidina Kabil menantang Sayidina Habil untuk mengadakan kurban. 

Barangsiapa yang diterima sesajinya maka dialah yang berhak memperistri Siti Aklimah. Sayidina Habil bersedia menuruti tantangan itu dengan harapan sang kakak bisa mendapatkan petunjuk Tuhan supaya sadar.
Maka, kedua bersaudara itu lantas mempersiapkan sesaji masing-masing. Karena Sayidina Kabil seorang petani, maka kurban yang ia sajikan pun berwujud hasil bumi, seperti buah-buahan dan palawija. 

Namun karena ia bersifat kikir, maka yang dipilih adalah buah-buahan dan palawija yang buruk, sedangkan yang baik disisihkan untuk dijual dan dipakai sendiri. Sementara itu Sayidina Habil seorang peternak, maka ia pun mengurbankan hewan-hewan peliharaannya. Karena ia bersifat murah hati dan penuh iman, maka yang dipilihnya sebagai sesaji adalah hewan-hewan yang terbaik pula.

Allah SWT (Tuhan Yang Mahakuasa) kemudian mengirim api dari langit untuk membakar sesaji yang dipersembahkan Sayidina Habil, sebagai pertanda bahwa kurbannya telah diterima. Sayidina Kabil sangat kesal dan bertambah iri. Karena kedengkian dan kecemburuannya sudah memuncak, ia pun mengambil sebongkah batu dan memukul kepala Sayidina Habil hingga pecah.

Melihat adiknya mati, Sayidina Kabil menjadi kebingungan bercampur sedih. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Tiba-tiba terlihat olehnya dua ekor burung gagak sedang berkelahi. Gagak yang menang kemudian mengubur bangkai gagak yang mati di dalam tanah. Merasa mendapatkan petunjuk, Sayidina Kabil pun menguburkan mayat Sayidina Habil seperti gagak itu.

Sayidina Kabil kemudian menemui Siti Aklimah untuk menikahinya. Siti Aklimah menolak karena takut melanggar perintah sang ayah. Sayidina Kabil tidak peduli, dan ia pun memukul Siti Aklimah sampai pingsan, kemudian membawanya lari meninggalkan Negeri Kusniya Malebari sejauh-jauhnya.

MALAIKAT AJAJIL (Iblis) MEMPEROLEH ANAK PEREMPUAN

Malaikat Ajajil dulu diusir dari Taman Surga karena menolak perintah Tuhan Yang Mahakuasa untuk bersujud memberikan penghormatan kepada Nabi Adam. Kini ia mendengar kehendak Tuhan bahwa keturunan Sayidina Sis akan menjadi manusia-manusia utama. Maka, ia pun bertafakur memohon kepada Tuhan supaya diizinkan memiliki seorang putri. Ia berharap melalui putrinya itu bisa lahir keturunan Sayidina Sis yang bisa menjadi raja dan penguasa umat manusia.
Tuhan Yang Mahaadil pun mengabulkan permohonan Malaikat Ajajil. 

Atas kehendak-Nya, dari sebagian tubuh Malaikat Ajajil tercipta seorang perempuan yang berwajah sama persis dengan Dewi Mulat, yang kemudian diberi nama Dewi Dlajah. Malaikat Ajajil lalu membawa putrinya itu ke Negeri Kusniya Malebari supaya bisa mengandung benih Sayidina Sis.

Malaikat Ajajil memasuki rumah Sayidina Sis secara diam-diam dan menculik Dewi Mulat untuk ditukar dengan Dewi Dlajah. Beberapa hari kemudian, setelah mengetahui Dewi Dlajah telah disetubuhi Sayidina Sis yang tidak bisa membedakan istrinya, Malaikat Ajajil pun mengembalikan Dewi Mulat dan membawa pulang Dewi Dlajah.

LAHIRNYA ANWAS DAN ANWAR

Sembilan bulan kemudian, Dewi Dlajah melahirkan bersamaan dengan terbenamnya matahari. Namun anehnya, anak yang lahir itu berwujud segumpal darah yang berkilauan. Malaikat Ajajil mengambil darah tersebut lalu membawanya pergi ke Negeri Kusniya Malebari.

Sementara itu pada hari yang sama, Dewi Mulat lebih dulu melahirkan bersamaan dengan terbitnya matahari. Yang dilahirkannya adalah dua orang anak. Anak yang satu berwujud bayi normal, sedangkan yang satunya berwujud seberkas cahaya.

Malaikat Ajajil datang secara gaib lalu menangkap seberkas cahaya tersebut dan disatukannya dengan darah berkilauan yang ia bawa dari Dewi Dlajah. Atas kehendak Tuhan, persatuan tersebut menciptakan seorang bayi laki-laki, namun tubuhnya tidak bisa diraba dan selalu memancarkan cahaya seperti sinar rembulan.

Nabi Adam datang dan memberi nama kedua cucunya tersebut. Yang berwujud bayi normal diberi nama Sayidina Anwas, sedangkan yang berwujud bayi bercahaya diberi nama Sayidina Anwar. 

Nabi Adam meramalkan bahwa Sayidina Anwas kelak akan menurunkan para nabi, sedangkan Sayidina Anwar kelak tidak mau mengikuti agamanya dan memilih jalan hidup sendiri, namun keturunannya juga banyak yang menjadi raja dan tokoh besar di dunia. Hal ini membuat Sayidina Sis bimbang dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada takdir Tuhan.

Silsilah keturunan Anwar dan Anwas
Anwar Alias Sang Hyang Murcahya

Sang Hyang Nurcahyo adalah Ayah dari Sang Hyang Nurrasa. Sang Hyang Nurrasa adalah ayah dari Sang Hyang Wenang. Jadi Sang Hyang Nurcahya adalah kakek dari Sang Hyang Wenang. Lakon coba diringkas dengan mengacu pada 3 serat : Serat Paramayoga, dipadukan dengan Serat Arjunasasrabahu dan Serat Kandha.

Singkat cerita, Nabi Adam telah berusia hampir 1000 tahun (tepatnya 990 tahun) dan kini dalam keadaan sakaratulmaut menjelang wafat. Di sekitarnya telah berkumpul semua anggota keluarga, mulai dari istri, para putra-putri, serta cucu dan cicit. Namun ada seorang yang belum datang, yaitu Sayidina Anwar putra Sayidina Sis. Nabi Adam mengetahui kalau Sayidina Anwar saat ini sedang berkelana di Hutan Ambalah di Tanah Keling, dan berguru kepada Malaikat Ajajil.

Tidak lama kemudian Sayidina Anwar datang dan menyampaikan rasa prihatin atas keadaan sang kakek. Sayidina Sis bertanya apakah benar putranya itu telah berguru kepada Malaikat Ajajil di Hutan Ambalah. Jika memang benar, ia melarang keras Sayidina Anwar berhubungan lagi dengan Malaikat Ajajil karena dulu telah dikeluarkan dari Taman Surga oleh Tuhan Yang Mahakuasa atas kesombongannya yang menolak memberikan penghormatan kepada Nabi Adam.

Sayidina Anwar mengakui dirinya memang telah berkelana sampai ke Hutan Ambalah di Tanah Keling, dan berguru kepada seorang pertapa tua. Pertapa tua itu telah mengajarinya berbagai macam ilmu kesaktian, antara lain kemampuan terbang, menghilang, amblas bumi, menyelam di air, serta berubah wujud. Mengenai Malaikat Ajajil, ia mengaku tidak kenal dan tidak tahu-menahu.

Nabi Adam menjelaskan bahwa pertapa tua itu tidak lain adalah Malaikat Ajajil yang sedang menyamar. Ia berwasiat agar Sayidina Anwar tidak lagi berhubungan dengannya dan supaya kembali ke agama yang benar.

Tidak lama kemudian muncul dua malaikat yang diutus Tuhan untuk datang ke Kusniya Malebari. Mereka adalah Malaikat Izrail yang bertugas menjemput roh Nabi Adam, dan Malaikat Jibril yang bertugas menyampaikan keputusan Tuhan untuk menunjuk Sayidina Sis, putra keenam, sebagai nabi menggantikan sang ayah, dan mengangkat Sayidina Kayumaras, putra ketiga belas, sebagai raja Kusniya Malebari yang baru, dengan bergelar Sultan Kayumutu.

Demikianlah, Nabi Adam pun meninggal dunia. Para anggota keluarga serentak memanjatkan doa mengantarkan kepergian rohnya.

Silsilah Nurcahya dan Jin
Silsilah keturunan Anwas (Sang Hyang Nurcahya) dan Jin
Empat puluh hari setelah meninggalnya Nabi Adam, terjadi percakapan antara dua orang putra Nabi Sis, yaitu Sayidina Anwas dan Sayidina Anwar mengenai rahasia kehidupan. 

Menurut Sayidina Anwas, agama Nabi Adam adalah agama yang paling benar dan harus diikuti tanpa penolakan. Semua kitab peninggalan sang kakek bisa dijadikan petunjuk untuk menjalani kehidupan yang benar, karena isi kitab tersebut berasal dari apa yang diajarkan Tuhan Yang Mahakuasa kepada Nabi Adam. Maka, mencari agama lain adalah suatu perbuatan sia-sia belaka.

Sayidina Anwar tidak setuju. Menurutnya, ilmu Tuhan itu sangat luas tak terbatas dan tidak bisa ditampung hanya dalam kitab-kitab saja. Untuk mempelajari rahasia kehidupan, maka harus mempelajari pula bagaimana alam bekerja. Alam memiliki hukum sebab-akibat yang berjalan sesuai ketentuan Tuhan. 

Apalagi melihat Nabi Adam ternyata meninggal dunia dalam usia 990 tahun membuat Sayidina Anwar merasa sangat kecewa. Ia berpendapat, jika memang agama yang diajarkan Nabi Adam itu benar, harusnya dapat menghindarkannya dari kematian seperti kaum malaikat yang hidup abadi.

Sayidina Anwas tidak setuju, karena makhluk bernama manusia dan malaikat jelas berbeda secara penciptaan. Manusia berasal dari saripati tanah dan harus kembali menjadi tanah. Namun Sayidina Anwar tetap bersikeras bahwa manusia bisa mencapai kehidupan abadi seperti malaikat jika mau berusaha. 

Setelah membulatkan tekad, ia pun memutuskan untuk pergi berkelana lagi demi mendapatkan kehidupan abadi tersebut.
Sayidina Anwas berusaha menghalangi niat adiknya itu. Terpaksa ia menggunakan kekerasan supaya sang adik menghentikan langkah. Kedua bersaudara itu lalu terlibat pertarungan seru.

 Karena Sayidina Anwar jauh lebih sakti, maka ia pun dapat meloloskan diri.
Sayidina Anwas sangat sedih bercampur malu. Ia bersumpah meskipun ilmu kesaktian adiknya lebih tinggi, namun kelak akan ada keturunannya yang bisa mengalahkan keturunan Sayidina Anwar.

ANWAR (NURCAHYA) MENDAPATKAN TIRTAMARTA KAMANDANU

Setelah sampai di perbatasan Kusniya Malebari, Sayidina Anwar bertemu Malaikat Ajajil yang memperkenalkan diri sebagai kakeknya dari pihak ibu. Malaikat Ajajil juga menceritakan bahwa dirinya dulu menyamar sebagai pertapa tua yang telah mengajarkan segala macam ilmu kesaktian sewaktu Sayidina Anwar bertapa di Hutan Ambalah di Tanah Keling.

Sayidina Anwar bertanya alasan apa yang membuat Nabi Adam berwasiat agar dirinya tidak lagi berhubungan dengan Malaikat Ajajil. Malaikat Ajajil pun menceritakan latar belakang permasalahan ini. Dulu di Taman Surga, ia adalah pemuka kaum malaikat, bahkan disebut-sebut sebagai makhluk yang paling tekun beribadah kepada Tuhan. 

Sampai akhirnya Tuhan berkehendak memilih manusia bernama Adam sebagai khalifah di muka bumi. Para malaikat menyampaikan keluhan kepada Tuhan bahwa manusia hanyalah makhluk yang suka berbuat kerusakan. Tuhan lalu mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan kepada Nabi Adam sehingga para malaikat pun mengaku kalah. 

Maka ketika Tuhan memerintahkan kepada para malaikat untuk menyatakan tunduk dan memberikan penghormatan kepada Nabi Adam, mereka pun serentak mematuhi, kecuali Malaikat Ajajil sang pemuka. Malaikat Ajajil tetap pada pendiriannya, bahwa manusia adalah makhluk yang mudah berubah-ubah hatinya, sehingga tidak layak mendapatkan penghormatan. Karena menolak perintah Tuhan itulah, Malaikat Ajajil pun dikeluarkan dari Taman Surga.

Sayidina Anwar mendengarkan cerita itu dengan seksama, dan merasa pendapat Malaikat Ajajil ada benarnya, namun menentang perintah Tuhan jelas adalah perbuatan yang keliru. Ia tidak mau terlibat dalam permusuhan antara Nabi Adam dan Malaikat Ajajil karena keduanya adalah sama-sama kakek baginya.

 Ia hanya ingin bisa hidup abadi seperti kaum malaikat. Malaikat Ajajil berjanji akan membimbing cucunya itu dalam mewujudkan cita-citanya. Sayidina Anwar sangat gembira dan bersedia mematuhi segala nasihatnya. Mereka berdua lalu berangkat menuju ke Kutub Utara untuk mencari sumber keabadian tersebut, yang konon akan memancar dari mustika awan mendung di sana.

Malaikat Ajajil dan Sayidina Anwar akhirnya sampai di Tanah Lulmat yang terletak di balik Kutub Utara. Di sana Sayidina Anwar kemudian bertapa memohon kemurahan Tuhan. Setelah sekian lama bertapa melawan hawa dingin, datanglah sekumpulan awan mendung yang berasal dari Lautan Rahmat. Dari awan mendung tersebut memancar keluar air keabadian yang disebut Tirtamarta Kamandanu.

Atas nasihat Malaikat Ajajil, Sayidina Anwar segera mandi dan meminum air keabadian tersebut. Setelah itu ia pun berniat menampung air yang masih terus memancar agar kelak bisa diminum anak cucunya. Namun ia tidak tahu bagaimana caranya dan juga tidak memiliki wadah yang tepat. Memahami hal itu, Malaikat Ajajil pun menyerahkan Cupumanik Astagina milik Nabi Adam dan Siti Hawa. Dulu cupumanik tersebut menjadi wadah benih yang mereka keluarkan saat peristiwa lahirnya Nabi Sis. 

Cupumanik itu kemudian terhempas oleh angin topan dan ditemukan Malaikat Ajajil di dalam lautan.
Sayidina Anwar menerima cupumanik itu. Meskipun ukurannya kecil, namun memiliki daya kesaktian mampu menampung semua air keabadian yang dipancarkan awan mendung tersebut sampai habis. Setelah dirasa cukup, keduanya lalu pergi meninggalkan Tanah Lulmat.

ANWAR (NURCAHYA) MENDAPATKAN LATA MAHOSADI

Sesampainya di luar Kutub Utara, Malaikat Ajajil pamit pergi meninggalkan Sayidina Anwar yang kemudian melanjutkan perjalanan pulang sendiri. Di tengah jalan, Sayidina Anwar menemukan Pohon Rewan, yaitu sejenis pohon ajaib yang tidak memiliki daun sama sekali, tapi bisa hidup sehat. Suara hatinya berkata bahwa akar pohon gundul tersebut bernama Oyod Mimang, merupakan pusaka yang sangat ampuh. 

Sayidina Anwar lalu mengambil Oyod Mimang itu dan menjadikannya sebagai pusaka yang diberi nama Lata Mahosadi. Keampuhan akar pohon ini adalah dapat digunakan untuk menyembuhkan segala macam penyakit, bahkan bisa menghidupkan orang mati. Akan tetapi, karena menyimpan Lata Mahosadi tanpa persiapan, tiba-tiba pikiran Sayidina Anwar menjadi bingung. Ia tidak tahu ke mana arah jalan pulang menuju Kusniya Malebari. Maka, ia pun berjalan secara serabutan dan akhirnya terlunta-lunta selama ribuan tahun.

Sesampainya di Laut Hitam, Sayidina Anwar menyaksikan pemandangan aneh. Ia melihat dua orang manusia tergantung-gantung di angkasa, di atas laut. Sayidina Anwar bertanya, dan kedua orang itu mengaku bernama Malaikat Harut dan Malaikat Marut.

Kedua malaikat tersebut dulu pernah menyampaikan keluhan kepada Tuhan, bahwa keputusan Tuhan mengangkat manusia sebagai khalifah di bumi adalah keliru. Banyak sekali keturunan Nabi Adam yang berbuat kerusakan dan menuruti hawa nafsu. Jika yang menjadi khalifah adalah bangsa malaikat, tentu bumi akan lebih makmur.

Kedua malaikat juga berkata, jika mereka memiliki hawa nafsu seperti manusia, pasti mereka tetap bisa mengendalikannya dan tidak mungkin terjerumus ke dalam kejahatan. Tuhan Yang Mahakuasa lalu memberikan ujian dengan cara mengisi mereka berdua dengan hawa nafsu dan menurunkannya ke bumi.

 Ternyata pada akhirnya mereka gagal juga menjalani ujian tersebut karena terlena oleh pujian sehingga mengajarkan ilmu sihir kepada umat manusia dengan sesuka hati. Kini, Malaikat Harut dan Malaikat Marut harus menjalani hukuman dengan tergantung-gantung di atas Laut Hitam.

Sayidina Anwar sangat tertarik dan ingin menjadi murid mereka. Kedua malaikat lalu mengajarinya berbagai macam ilmu pengetahuan, seperti ilmu perbintangan, ilmu bumi, ilmu kebijaksanaan, serta ilmu berbicara dengan berbagai jenis makhluk hidup.
Sayidina Anwar sangat bersyukur.

 Ia merasa tidak perlu lagi kembali ke Negeri Kusniya Malebari karena semua anggota keluarga yang dikenalnya pasti sudah meninggal dunia. Maka, ia lantas menanyakan di mana letak Surga dan Neraka karena ingin melihat bagaimana keadaan di dalam sana. Kedua malaikat berbohong dengan mengatakan bahwa Surga dan Neraka terletak di hulu Sungai Nil.

ANWAR (NURCAHYA) BERGURU KEPADA LATA DAN SITI UJWA

Sayidina Anwar yang polos segera mengikuti petunjuk kedua malaikat gurunya. Ia pun mendatangi Sungai Nil dan berjalan menyusuri sungai terpanjang di dunia tersebut. Dalam perjalanannya itu ia bertemu paman dan bibinya yang bernama Sayidina Lata dan Siti Ujwa, putra-putri Nabi Adam dan Siti Hawa nomor lima belas.

Sayidina Anwar sangat terkejut melihat paman dan bibinya itu masih hidup. Ternyata mereka berdua dulu kabur dari Kusniya Malebari karena tidak bersedia dinikahkan dengan saudara yang lain, sebagaimana yang pernah dikeluhkan Sayidina Kabil. Mereka juga tidak mengikuti agama Nabi Adam dan memilih mencari jalan kehidupan sendiri, sehingga akhirnya menemukan cara agar bisa tetap awet muda.

Sayidina Anwar kemudian berguru kepada paman dan bibinya tersebut, dan ia memperoleh ilmu pengetahuan tentang bagaimana cara melihat masa depan. Setelah dirasa cukup, Sayidina Anwar lalu melanjutkan perjalanan menuju hulu Sungai Nil.

ANWAR MELIHAT ISI SURGA DAN NERAKA

Sayidina Anwar telah sampai di hulu Sungai Nil yang berupa rawa-rawa sangat luas bernama Rawa Jambirijahiri. Ia sangat kecewa dan merasa telah ditipu oleh Malaikat Harut dan Malaikat Marut karena di tempat itu ternyata sama sekali tidak terdapat Surga dan Neraka. Yang ada di sana hanyalah pemandangan Gunung Kapsi yang berkali-kali menyemburkan api mengerikan.

Sayidina Anwar melihat air yang mengisi rawa-rawa tersebut ternyata bersumber dari mata air di Gunung Kapsi. Maka ia pun melanjutkan perjalanan mendaki gunung tersebut. Di puncak gunung, ia bertemu seorang kakek tua yang mengaku sebagai penguasa Surga dan Neraka.

Kakek tua itu tidak lain adalah Malaikat Ajajil yang sedang menyamar. Ia mengatakan bahwa Sayidina Anwar yang berhati tulus dalam mematuhi petunjuk kedua gurunya, berhak menerima anugerah Tuhan berupa Permata Retnadumilah. Melalui permata tersebut, Sayidina Anwar dapat menyaksikan keindahan Surga dan kengerian Neraka.

Si kakek tua lalu mengajarkan berbagai macam ilmu baru kepada Sayidina Anwar, antara lain ilmu panitisan atau bersatu dengan makhluk lain, ilmu memasuki alam kematian, dan ilmu memutarbalikkan waktu. Setelah selesai, kakek tua itu memerintahkan kepada Sayidina Anwar untuk bertapa ke Pulau Lakdewa yang terletak di Samudera Hindia. Sayidina Anwar pun mohon pamit dan berangkat.
Sang hyang Nurrasa

ANWAR (NURCAHYA) BERTAPA DI PULAU LAKDEWA

Sayidina Anwar telah sampai di Pulau Lakdewa dan bertapa di puncak sebuah gunung. Ia bertapa dengan cara menatap jalannya Matahari. Jika pagi hari wajahnya menghadap ke timur, jika siang hari wajahnya menghadap ke atas, dan jika sore hari wajahnya menghadap ke barat, kemudian jika malam hari ia berendam di air.

Setelah tujuh tahun bertapa seperti itu dengan sabar dan tekun, Sayidina Anwar pun menjadi makhluk halus yang berbadan rohani, tinggal di alam Sunyaruri, yaitu alam para jin. Di alam itu tiada barat, tiada timur, tiada utara, tiada selatan, tiada atas, tiada bawah. Terang tanpa siang, gelap tanpa malam. Ruang dan waktu menjadi satu, sudah musnah semua tiada nama, dan segalanya berada dalam rengkuhan Tuhan Yang Mahakuasa.

Sayidina Anwar kemudian mendapatkan perintah Tuhan untuk segera berkeluarga, karena keturunan Sayidina Anwas saja saat ini sudah mencapai zaman Nabi Musa. Sayidina Anwar patuh dan segera bertapa di dalam gua untuk mendapatkan jodoh yang tepat.

PRABU NURHADI MENCARI MENANTU

Tersebutlah raja jin di Pulau Maladewa bernama Prabu Nurhadi, yang masih keturunan Jan Banujan, leluhur para jin di dunia. Ia memerintah didampingi saudaranya yang bernama Patih Amir. Pada suatu hari, putri tunggal Prabu Nurhadi yang bernama Dewi Nurrini bermimpi didatangi seorang kakek tua yang memberi tahu bahwa jodohnya yang bernama Sayidina Anwar sudah dekat, dan saat ini bertapa di sebuah gua. 

Kakek tua itu mengabarkan bahwa perkawinan Dewi Nurrini dengan Sayidina Anwar kelak akan menurunkan raja-raja Tanah Hindustan dan Tanah Jawa.

Dewi Nurrini menceritakan apa yang dialaminya kepada sang ayah. Prabu Nurhadi lalu mengutus Patih Amir untuk pergi menyelidiki laki-laki yang digambarkan sang putri dalam mimpinya itu. Patih Amir pun mohon diri dan berangkat.

Perjalanan Patih Amir akhirnya sampai di Pulau Lakdewa dan ia menemukan seorang laki-laki di dalam gua yang tubuhnya bercahaya tapi tidak menyilaukan, seperti sinar bulan purnama. Setelah berkenalan dan mengetahui bahwa laki-laki itu bernama Sayidina Anwar seperti yang ia cari, Patih Amir pun mengajaknya pergi ke Pulau Maladewa untuk bertemu Prabu Nurhadi dan Dewi Nurrini.

ANWAR (NURCAHYA) MENIKAH DENGAN DEWI NURRINI

Prabu Nurhadi menerima kedatangan Sayidina Anwar dan Patih Amir. Dilihatnya sosok Sayidina Anwar ternyata berwajah tampan dan tubuhnya bercahaya seperti bulan purnama, membuat hatinya sangat berkenan. Dewi Nurrini juga yakin kalau Sayidina Anwar ini sesuai dengan petunjuk yang diberikan si kakek tua dalam mimpi. Maka pernikahan di antara mereka pun dilangsungkan di Pulau Maladewa, dan Sayidina Anwar berganti nama menjadi Sanghyang Nurcahya.

Singkat cerita, Dewi Nurrini telah mengandung dan melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama Sanghyang Nurrasa. Prabu Nurhadi merasa sudah tiba saatnya untuk mengundurkan diri dari takhta Kerajaan Maladewa, dan menyerahkannya kepada sang menantu. Maka sejak saat itu, Sanghyang Nurcahya menjadi pemimpin Kerajaan Maladewa, yang namanya kemudian diganti menjadi Kahyangan Pulau Dewa

Di Kahyangan Pulau Dewa, Sanghyang Nurcahya dihadap Sanghyang Nurrasa dan Patih Amir. Yang dibicarakan adalah rencana Sanghyang Nurcahya untuk mewariskan takhta beserta semua pusaka kepada Sanghyang Nurrasa yang dianggap telah cukup dewasa. Namun Sanghyang Nurrasa merasa belum memiliki kemampuan untuk memikul tanggung jawab berat ini.

Sanghyang Nurcahya lalu memerintahkan putra tunggalnya itu untuk segera menikah sehingga memiliki istri yang bisa diajak berunding dalam memutuskan permasalahan. Lagi-lagi Sanghyang Nurrasa menolak karena masih ingin menambah ilmu dan pengalaman, apalagi dirinya belum mengetahui siapa wanita yang cocok untuk dijadikan pasangan hidup. 

Sanghyang Nurcahya marah dan mengusir Sanghyang Nurrasa pergi meninggalkan Kahyangan Pulau Dewa.
Sepeninggal Sanghyang Nurrasa, Patih Amir memohon supaya Sanghyang Nurcahya mengampuni Sanghyang Nurrasa dan memerintahkannya kembali. Namun Sanghyang Nurcahya menjelaskan bahwa kemarahannya tadi hanyalah pura-pura untuk mengukur sampai sejauh mana keteguhan hati dan kedalaman ilmu putranya. 

Sanghyang Nurcahya lalu memerintahkan Patih Amir untuk mengawasi perjalanan Sanghyang Nurrasa dari kejauhan. Sang Patih menurut dan segera berangkat.

SANGHYANG NURRASA BERTAPA DI PULAU DARMA

Sanghyang Nurrasa berkelana sampai tiba di Pulau Darma dan bertapa di puncak sebuah gunung. Beberapa waktu kemudian datang seorang jin bernama Patih Parwata bersama pasukannya. Patih Parwata marah karena ada orang asing berani bertapa di wilayah Kerajaan Pulau Darma. Mereka pun mengganggu Sanghyang Nurrasa supaya menghentikan tapa brata tersebut.

Sanghyang Nurrasa bangun dan menghadapi Patih Parwata. Keduanya lalu mengadu kepandaian yang dilanjutkan dengan pertempuran adu kesaktian. Meskipun seorang diri, namun Sanghyang Nurrasa mampu menghadapi mereka semua tanpa terdesak sama sekali. Patih Amir yang mengintai dari persembunyian akhirnya muncul dan melerai pertempuran tersebut sebelum jatuh korban di antara mereka.

Kepada Patih Parwata, Patih Amir memperkenalkan Sanghyang Nurrasa sebagai cucu dari Prabu Nurhadi. Ternyata Patih Parwata adalah kakak kandung Prabu Nurhadi dan Patih Amir sendiri. Patih Parwata sangat gembira mengetahui bahwa Sanghyang Nurrasa ternyata masih anggota keluarganya. Ia pun mengundang Sanghyang Nurrasa dan Patih Amir untuk berkunjung ke Kerajaan Pulau Darma.

SANGHYANG NURRASA MENIKAH DENGAN DEWI RAWATI

Raja jin di Kerajaan Pulau Darma bernama Prabu Rawangin adalah adik dari Patih Parwata, sehingga terhitung masih saudara Prabu Nurhadi dan Patih Amir pula. Prabu Rawangin menyambut baik kedatangan Sanghyang Nurrasa dan langsung merasa suka kepadanya. Maka, Prabu Rawangin pun berniat menjadikan Sanghyang Nurrasa sebagai menantu, yaitu dijodohkan dengan putrinya yang bernama Dewi Rawati.

Prabu Rawangin menceritakan beberapa hari yang lalu Dewi Rawati telah bermimpi mendapat petunjuk bahwa jodohnya sudah dekat, dan merupakan cucu dari Nabi Sis. Tak disangka laki-laki yang dimaksud dalam mimpi tersebut kini sudah hadir dan masih anggota keluarga sendiri dari pihak ibu. Menanggapi hal ini, Sanghyang Nurrasa meminta pertimbangan kepada Patih Amir, dan Patih Amir pun menyarankan supaya menerima perjodohan tersebut. 

Sanghyang Nurrasa akhirnya bersedia menjadi menantu Prabu Rawangin.
Maka, diadakanlah upacara pernikahan antara Sanghyang Nurrasa dengan Dewi Rawati. Tujuh hari kemudian Sanghyang Nurrasa mendapat izin memboyong sang istri untuk menetap di Kahyangan Pulau Dewa.

Silsilah Keluarga Sang Hyang Nurrasa
Sang Hyang Wenang
SANGHYANG NURCAHYA MEWARISKAN KAHYANGAN PULAU DEWA

Sanghyang Nurcahya dan Dewi Nurrini menyambut kedatangan Sanghyang Nurrasa dan Dewi Rawati dengan suka cita. Sanghyang Nurcahya kemudian menyatakan pengunduran dirinya sebagai penguasa Kahyangan Pulau Dewa. Ia telah menulis semua pengalaman hidupnya dalam sebuah kitab gaib bernama Pustaka Darya, dan menyerahkannya kepada Sanghyang Nurrasa bersama pusaka-pusaka yang lain, yaitu Tirtamarta Kamandanu, Cupumanik Astagina, Lata Mahosadi, dan Retna Dumilah.

Setelah Sanghyang Nurrasa meminum Tirtamarta Kamandanu, Sanghyang Nurcahya kemudian menitis ke dalam dirinya, bersatu jiwa raga dengan putranya tersebut. Sejak saat itu, Sanghyang Nurrasa pun menjadi pemimpin tertinggi di Kahyangan Pulau Dewa.

KELAHIRAN ANAK-ANAK SANGHYANG NURRASA

Beberapa bulan kemudian, Dewi Rawati melahirkan putra berupa Sotan, yaitu suara tanpa rupa, berjumlah dua dan saling berebut siapa yang lebih tua. Sanghyang Nurrasa lalu mengheningkan cipta memasuki alam gaib dan membina semua rahsa, sehingga kedua suara itu dapat dikumpulkan dan diberi wujud. Yang bersuara besar dijadikan anak pertama, diberi nama Sang Supi, bergelar Sanghyang Darmajaka, atau Sanghyang Wening, sedangkan yang bersuara kecil dijadikan anak kedua, diberi nama Sang Jaji, bergelar Sanghyang Wenang.

Beberapa tahun kemudian Dewi Rawati melahirkan anak ketiga, berwujud Akyan atau jin sejati, yang oleh Sanghyang Nurrasa diberi nama Sanghyang Taya. Ketiga putra Sanghyang Nurrasa itu sama-sama suka bertapa dan belajar ilmu kesaktian, dan yang paling menonjol di antara mereka adalah Sanghyang Wenang.

PRABU HARI MENYERANG PULAU DEWA

Tersebutlah seorang raja jin bernama Prabu Hari dari Kerajaan Keling. Ia mendengar adanya penguasa bernama Sanghyang Nurrasa di Kahyangan Pulau Dewa yang telah banyak menundukkan kaum jin. Prabu Hari merasa penasaran dan berniat mencoba ilmu kesaktian Sanghyang Nurrasa. Bersama Patih Sangadik dan sekutunya yang bernama Prabu Sikanda dari Kerajaan Selongkandi, mereka pun berangkat menyerang Pulau Dewa.

Sesampainya di sana, Sanghyang Nurrasa justru menyambut kedatangan mereka dengan ramah. Tak disangka, Sanghyang Nurrasa ternyata sudah mengetahui maksud dan tujuan para jin tersebut dan menyerahkan semua urusan kepada para putra.

Maka, Prabu Hari pun berhadapan dengan Sanghyang Wenang. Meskipun baru bertemu, namun Sanghyang Wenang dapat menebak asal-usul Prabu Hari, yaitu putra Jin Saraba. Adapun Jin Saraba adalah saudara dari Prabu Nurhadi, Prabu Rawangin, Patih Parwata, dan Patih Amir. Juga ada lagi saudara mereka yang lebih tua bernama Prabu Palija, raja Kerajaan Keling sebelumnya. 

Setelah Prabu Palija turun takhta, Kerajaan Keling diserahkan kepada putranya yang bergelar Prabu Sangadik. Namun Prabu Sangadik dapat dikalahkan oleh sepupunya sendiri, yaitu Prabu Hari tersebut. Prabu Sangadik lalu menyerahkan Kerajaan Keling kepada sepupunya itu, juga mempersembahkan putrinya yang bernama Dewi Wisawati. 

Prabu Hari kemudian menikahi Dewi Wisawati, sedangkan Prabu Sangadik ditetapkan sebagai patih.
Prabu Hari malu sekaligus marah karena asal-usulnya dapat ditebak. Ia pun menyerang Sanghyang Wenang dan terjadilah pertempuran.

 Namun pertempuran itu dapat dimenangkan oleh Sanghyang Wenang. Di sisi lain, Prabu Sikanda juga dapat dikalahkan oleh Sanghyang Darmajaka, sedangkan Patih Sangadik menyerah kalah kepada Sanghyang Taya.

SANGHYANG NURRASA MENGUNDURKAN DIRI

Sanghyang Nurrasa sangat senang melihat kemenangan putra-putranya, terutama kepada Sanghyang Wenang yang memiliki kepandaian paling tinggi. Ia pun mengubah permusuhan menjadi persahabatan dengan melamar putri-putri Prabu Sikanda dan Prabu Hari untuk menjadi menantunya. Kedua raja jin sangat gembira dan menerima lamaran tersebut dengan senang hati.

Maka, diadakanlah pernikahan antara Sanghyang Darmajaka dengan Dewi Sikandi putri Prabu Sikanda, serta Sanghyang Wenang dengan Dewi Sahoti putri Prabu Hari. Adapun Sanghyang Taya kelak akan bertemu jodohnya di lain waktu, demikian nasihat Sanghyang Nurrasa.

Tidak hanya itu, Prabu Sikanda juga menyerahkan Kerajaan Selongkandi kepada Sanghyang Darmajaka untuk menjadi penguasa di sana, sedangkan Prabu Hari menyerahkan Kerajaan Keling kepada Sanghyang Wenang. Namun Sanghyang Nurrasa memiliki rencana lain, yaitu mengangkat Sanghyang Wenang sebagai ahli waris Kahyangan Pulau Dewa. Adapun Kerajaan Keling sebaiknya diserahkan kepada putra Sanghyang Wenang yang lahir dari Dewi Sahoti.

Sang Hyang Wenang
Setelah keputusan diambil, Sanghyang Nurrasa lalu menyerahkan semua pusaka peninggalan Sanghyang Nurcahya kepada Sanghyang Wenang, lalu ia pun menitis dan bersatu jiwa raga dengan putra keduanya itu. 

Maka, sejak saat itu Sanghyang Wenang menjadi penguasa tertinggi di Kahyangan Pulau Dewa dengan bergelar Sanghyang Jatiwisesa, sedangkan Sanghyang Darmajaka menjadi penguasa Kahyangan Selongkandi dengan bergelar Sanghyang Purbawisesa. Sementara adik mereka, yaitu Sanghyang Taya memakai gelar Sanghyang Pramanawisesa.

KELAHIRAN SANGHYANG TUNGGAL

Setahun kemudian, Sanghyang Wenang membangun kahyangan baru yang melayang-layang di atas Gunung Tunggal, yang masih di dalam wilayah Pulau Dewa. Bersamaan dengan itu, Dewi Sahoti melahirkan putra pertama yang berwujud Akyan, dengan diliputi cahaya merah, kuning, hitam, dan putih. 

Sanghyang Wenang memandikan putranya itu dengan Tirtamarta Kamandanu sehingga keempat cahaya pun bersatu ke dalam diri si bayi yang langsung berubah dewasa.
Sanghyang Wenang kemudian memberi nama putra pertamanya itu Sanghyang Tunggal, sesuai nama Kahyangan Gunung Tunggal yang ditempatinya.
Silsilah keluarga Sang Hyang Wenang
Silsilah keluarga Sang Hyang Wenang
Dari sini sejarah pewayangan mulai banyak terpecah (tergantung serat wayang yang dipakai).

Semar, Togog dan Bathara Guru
Dalam menjelaskan tentang peristiwa di wayang sebaiknya dijelaskan juga berdasarkan serat yang mana. Karena dalam pewayangan ada beberapa serat yang dijadikan acuan misalnya SERAT KANDA, SERAT PARAMAYOGA, SERAT PURWAKANDA, SERAT PURWACARITA dll.

itu yang menyebabkan bila ada yang menceritakan peristiwa di wayang bisa berbeda-beda versinya.
Dalam Serat Paramayoga Sang Hyang Tunggal adalah putra dari Sang Hyang Wenang. Tapi dalam serat Kanda, bapak dari Sang Hyang Tunggal adalah Sanghyang Nurrasa.
Di serat Kanda ini Sanghyang Nurrasa memiliki dua orang putra bernama Sanghyang Tunggal dan Sanghyang Wenang.

Sebagai contoh : sejarah asal mula Semar dan Togog ada banyak versi :
Dalam SERAT KANDA : dikisahkan, penguasa kahyangan bernama Sanghyang Nurrasa memiliki dua orang putra bernama Sanghyang Tunggal dan Sanghyang Wenang. 

Karena Sanghyang Tunggal berwajah jelek, maka takhta kahyangan pun diwariskan kepada Sanghyang Wenang. Dari Sanghyang Wenang kemudian diwariskan kepada putranya yang bernama Batara Guru. Sanghyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, dengan nama Semar.

Dalam SERAT PARAMAYOGA : dikisahkan, Sanghyang Tunggal adalah anak dari Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri raja jin kepiting bernama Sanghyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. 

Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang berkenan. Takhta kahyangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya diberi kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri, atau tempat tinggal golongan makhluk halus. Putra sulung Ismaya yang bernama Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta, atau disingkat Semar. 

Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para dewa sekalipun. Jadi MENURUT SERAT PARAMAYOGA, SEMAR ADALAH CUCUNYA ISMAYA .

Dalam SERAT PURWAKANDA :dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki empat orang putra bernama Batara Puguh, Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu hari terdengar kabar bahwa takhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga kakaknya merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. 

Namun perbuatan tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk ketiga putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog sedangkan Punggung menjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.

Dalam SERAT PURWACARITA : dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati putra Sanghyang Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu cangkang, putih, dan kuning telur. 

Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari kuningnya diberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun mengadakan perlombaan menelan gunung. 

Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan sekali telan namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit. Setelah melewati beberapa hari seluruh bagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, namun tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat.

Ismaya menjadi Semar

Perubahan dari Sang Hyang Ismaya menjadi Semar Badranaya
Sanghyang Tunggal murka mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja kahyangan, bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.

Togog dan Semar

Semar atau Sang Hyang Ismaya di kanan dan Togog atau Sang Hyang Antaga di kiri
Semar ditugaskan mengasuh para ksatria (golongan putih) sedangkan Togog ditugaskan mengasuh golongan raksasa dan golongan hitam (golongan sesat)

Dalam pewayangan Jawa Tengah, Semar selalu disertai oleh anak-anaknya, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. Namun sesungguhnya ketiganya bukan anak kandung Semar. Gareng adalah putra seorang pendeta yang mengalami kutukan dan terbebas oleh Semar. Petruk adalah putra seorang raja bangsa Gandharwa (raja Jin). Sementara Bagong tercipta dari bayangan Semar berkat sabda sakti Resi Manumanasa.

Wayang Punokawan

Dalam pewayangan Sunda, urutan anak-anak Semar adalah Cepot, Dawala, dan Gareng. Sementara itu, dalam pewayangan Jawa Timuran, Semar hanya didampingi satu orang anak saja, bernama Bagong, yang juga memiliki seorang anak bernama Besut.

Selain 4 contoh versi serat yg di atas masih ada versi serat yang lain, bahkan wayang versi India, Bali, Jawa (versi Jawa Timur, versi Sunda, versi Solo, versi Yogya, versi Banyumas dll) semua berbeda-beda ceritanya. Apalagi kalau dimainkan oleh dalang yang berbeda dengan gaya cerita dan acuan serat yg berbeda pula. Kami menghormati dan menerima semua perbedaan dari semua versi serat dan berusaha memahami perbedaannya.

 Justru ini yang menjadikan makin kaya, tinggi dan luhurnya khasanah budaya wayang kita
Bathara Guru
Sang Hyang Manikmaya alias Bathara Guru alias Mahadewa Siwa

Demikianlah gambaran mengenai sejarah asal muasal dunia wayang. Selanjutnya dari Batara Guru, Semar dan Togog ini lah para wayang dan keluarganya diturunkan. Semoga bisa membantu memberikan pencerahan bagi para pembaca mengenai awal mula dunia wayang.
Wassalam.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel